Prolog
—Suatu hari Cinta dan Sahabat berjalan di sebuah desa. Masih asing bagi mereka desa itu. Terlihat begitu lengang. Diperhatikan oleh keduanya semak-semak perdu yang masih meliar. Dilihati oleh Sahabat, peluh-peluh keringat Cinta, yang menandakan lelahnya ia. Istirahatlah keduanya di bawah rerindangnya pohon randu. Dikatakan oleh Sahabat “istirahatlah, tidurlah, perjalanan kita masih amat jauh. Tak ada sejungkit pun kita tadi telah berlelah ria.” Cinta mengiyakan. Semilir angin yang bergulat ria, jua melenakan keterjagaan Sahabat. Ia pun akhirnya turut tertidur.
“Tolong….tolong…..” Cinta meminta tolong. Sahabat yang tatkala itu tengah bersenandung syahdu dengan Tuhannya, mendengar teriakan Cinta. Larilah ia tunggang langgang karena kagetnya. Di dapatinya Cinta terjatuh di dalam sebuah telaga. Mengapa ia bisa terjatuh? Ya, karena tak lain Cinta itu buta. Lalu sahabat pun terjun-berenang untuk menolong Cinta. Mengapa hal itu ia lakukan? Ya, karena Sahabat sangat cinta kepada sahabat karibnya itu, yakni si Cinta.
Di dalam telaga itu sahabat terus dan terus dengan gugupnya, mencari si Cinta, namun yak ditemukannya jua. Mengapa? Karena perangai Cinta itu halus dan lembut, sehingga mudah hilang jika tak dijaganya dengan baik-baik dan sulitlah untuk dicari, apalagi di dalam sebuah telaga yang gelap.
Namun Sahabat masih terus mencari; berenang, menunggu si Cinta, karena Sahabat itu SEJATI……
Pernah dikatakan oleh Cinta, orang yang mudah mengatakan sebuah kata-kata cinta yang bertandaskan syarat, orang itu akan mudah pula memutuskannya seiring berlalunya syarat itu…………. (xete_kwok-nita.ika.pertiwi/mib/smanthie’08).