Kamis, 04 Desember 2008

Prolog

—Suatu hari Cinta dan Sahabat berjalan di sebuah desa. Masih asing bagi mereka desa itu. Terlihat begitu lengang. Diperhatikan oleh keduanya semak-semak perdu yang masih meliar. Dilihati oleh Sahabat, peluh-peluh keringat Cinta, yang menandakan lelahnya ia. Istirahatlah keduanya di bawah rerindangnya pohon randu. Dikatakan oleh Sahabat “istirahatlah, tidurlah, perjalanan kita masih amat jauh. Tak ada sejungkit pun kita tadi telah berlelah ria.” Cinta mengiyakan. Semilir angin yang bergulat ria, jua melenakan keterjagaan Sahabat. Ia pun akhirnya turut tertidur.

“Tolong….tolong…..” Cinta meminta tolong. Sahabat yang tatkala itu tengah bersenandung syahdu dengan Tuhannya, mendengar teriakan Cinta. Larilah ia tunggang langgang karena kagetnya. Di dapatinya Cinta terjatuh di dalam sebuah telaga. Mengapa ia bisa terjatuh? Ya, karena tak lain Cinta itu buta. Lalu sahabat pun terjun-berenang untuk menolong Cinta. Mengapa hal itu ia lakukan? Ya, karena Sahabat sangat cinta kepada sahabat karibnya itu, yakni si Cinta.

Di dalam telaga itu sahabat terus dan terus dengan gugupnya, mencari si Cinta, namun yak ditemukannya jua. Mengapa? Karena perangai Cinta itu halus dan lembut, sehingga mudah hilang jika tak dijaganya dengan baik-baik dan sulitlah untuk dicari, apalagi di dalam sebuah telaga yang gelap.

Namun Sahabat masih terus mencari; berenang, menunggu si Cinta, karena Sahabat itu SEJATI……

Pernah dikatakan oleh Cinta, orang yang mudah mengatakan sebuah kata-kata cinta yang bertandaskan syarat, orang itu akan mudah pula memutuskannya seiring berlalunya syarat itu…………. (xete_kwok-nita.ika.pertiwi/mib/smanthie’08).

prolog

—Tatkala di sebuah padang pasir nan tandus, di tengah perjalanan Cinta menampar Sahabat, karena sebuah hal sepele. Sahabat tak mengira kalau sahabat karibnya, yakni Cinta, akan menamparnya. Kemudian ia berjalan selangkah, kemudian duduk. Ditulisnya di pasir yang bisu “hari ini sahabat baikku telah menamparku.” Secara diam-diam tanpa sepengetahuan Sahabat, Cinta membaca tulisan sahabatnya itu. Keduanya lalu berpisah sesaat.

Tiba-tiba! Cinta mendengar secibak bunyian seseorang, yang tak asing lagi; yang menyeringai telinganya. Sahabat! Ternyata Sahabat terperosok dalam sebuah lubang jebakan yang di buat oleh para perampok gurun pasir. Cinta memegang tangan Sahabat, kemudian menariknya ke atas, dan Sahabatpun tertolong. Sahabat amat bersyukur pada Tuhan dan ia berterimakasih pada Cinta. Dilihat oleh Sahabat sebongkah batu. Diambil dari pinggangnya sebilah pisau; dipahatkannya pada batu itu sebuah tulisan “hari ini sahabat karibku telah menolongku.” Sahabat memeluk Cinta.

Suatu ketika Cinta bertanya. “Wahai Sahabat—sahabatku?— aku ingin bertanya suatu hal padamu. Sudikah kiranya engkau memberikan sebuah jawaban atas pertanyaanku ini nanti?” Sahabat mengangguk-tersenyum. “Mengapa ketika aku menamparmu dulu, engkau tuliskan: “hari ini sahabat karibku telah menamparku,” pada pasir?” Dan kenapa pula ketika aku menolongmu dari bahaya maut kau juga menulisnya, tapi pada sebuah batu: “hari ini sahabat karibku telah menolongku. Kenapa kau menuliskannya pada substansi yang berbeda?”

Sahabat tersenyum dengan manisnya. Kemudian ia mulai berujar, memberikan jawaban pada sahabatnya, Cinta. Ia katakan kepada sahabatnya itu, Cinta, bahwa mengapa ketika ia—si Cinta—menamparnya, ia tuliskan perasaannya pada sebuah pasir, dan ketika Cinta berbalik menolongnya ketika maut sedang meregang nyawanya, ia menuliskan perasaannya juga; yang ia pahat pada sebuah batu.

Dikatakannya, pasir dapat terbawa oleh angin sehingga hilang. Demikian juga dengan perbuatan sahabatnya tadi yang telah menamparnya semoga dapat hilang dan tak menjadikan kedengkian dan dendam dalam hatinya, seperti pasir yang hilang diterpa angin, berlalu begitu saja.

Sebesar apapun kesalahan yang telah orang lakukan, lupakanlah sebisa mungkin. Sedang ketika seseorang telah berbuat baik pada kita sekecil apapun, maka pahatlah; kenanglah akan kebaikannya itu, tulislah dalam-dalam dalam memoar kita, karena tulisan akan mengabadi. Ia lebih tajam dari tajamnya angan belaka. Cinta tak dapat menahan haru………….

Kamis, 16 Oktober 2008

Telah datang dimana.

Masa Keemasan telah datang kembali

Bulan yang agung telah datang

Pohon-pohon bertasbih

Semilir angin terhembus berdzikir memuji Rabb-Nya

Telah datang…. dimana dosa-dosa di lebur

Telah datang .dimana harapan tak akan pernah tersiakan

Telah datang .dimana kebaikan dihamparkan

Telah datang. Dimana Kasih sayang Allah benar-benar terasa

MARHABAN YA RAMADHAN……

Marhaban Ya Syahrul Qur’an…….

Marhaban Ya Syahru Shiyam…..

Marhaban…….. Marhaban……Marhaban……..

Tahukah kita akan Ramadhan?

Ramadhan adalah bulan yang penuh ke-istimewa-an

Di dalamnya terdapat satu malam

Jikalau seseorang tahu akan hebatnya malam itu

Tak akan seorangpun menyia-nyiakannya

Malam dimana Rahmat Allah tercurah

Dimana anginpun seakan terhenti

Malam itu tampak sunyi senyap

Hanya hamba pilihan yang mmpu meraihnya

Yang mampu meraih malam itu…..

Malam agung…

Malam seribu bulan…

Malam penuh berkah…

Malam peñata-ulangan takdir manusia…

Malam itu…

Malaikat Jibril mengepakkan kedua sayapnya..

Yang tak pernah salah satunya ia kepakkan…

Selain di malam istimewa itu……

Bulan pun seakan tersenyum…

Tersenyum bahagia sebab datangnya malam yang penuh keberkahan itu….

Bintang ber-kerlip dengan indahnya….

Matahari pun berpijar dengan sejuk di kala paginya….

DALAM MIHRAB CINTA

(TAKBIR CINTA ZAHRANA)

Matanya berkaca-kaca, kalaulah tak ada iman di hatinya, mungkin ia telah sirna. Bagaimana tidak? Diumurnya yang telah lebih dari kepala tiga itu, ia belum juga bersuami. Ia lebih memilih melanjutkan jalur akademiknya dari pada menikah, itulah hal yang dulu ia sesali. Namun apa guna penyesalan, ia pun tetap tegar dan sabar

Dewi Zahrana, itulah namanya. Dan sering ia dipanggil dengan Rana. Lamaranpun datang dari seorang dekan di tempat ia mengajar, Pak Karman namanya. Namun ia bingung, apakah ia harus menerima pinangan dari orang yang terhormat namun bermoral bejat seperti dia. Karena ia tahu bahwa walaupun Pak Karman telah beristri, ternyata beliau masih suka bermain dengan perempuan lain, itulah yang membuat Rana tidak menyukainya. Tapi sebagai wanita yang berpendirian dan beragama, dia tidak boleh bimbang akan hal tersebut. Akhirnya pinangan itupun dilaksanakan oleh kedua keluarga. Namun tanpa diduga jawaban Rana telah membuat kecewa kedua belah pihak, termasuk keluarga Rana.

”Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang, saya akan sampaikan langsung kepada Pak Karman tiga hari ke depan.” Katanya. Dan benar adanya, tiga hari kemudian ia mengirim surat kepada Pak Karman yang isinya menyatakan bahwa ia menolak pinangan Pak Karman.

Pak Karman sangat kecewa dan ingin memecatnya dari jajaran dosen pengajar yang ada di fakultasnya, karena beliau termasuk orang nomor satu di fakultas tempat Rana mengajar. Namun Rana terlebih dahulu mengundurkan diri karena Bu Merlin telah memberi tahunya.

Sekarang ia bekerja sebagai pengajar di STM Al Fatah. Ia juga senantiasa berikhtiar mendekatkan diri kepada Ilahi dan memohon agar di karuniai jodoh yang baik dan sholeh.

“Saat pindah ke STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di Pesantren. Coba datanglah ke Pak kyai. Coba kamu minta kepada Pak Kyai untuk membantu mencarikan, mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!” Pinta kedua orangtuanya.

Akhirnya ihwal tersebut disampaikan ke Bu Nyai dan beliau akan berusaha mencarikan untuknya.

Sampai pada waktunya, datanglah orang yang ditunggu-tunggu oleh Rana, Rahmad namanya. Walaupun ia adalah seorang penjual kerupuk, namun mengenai akhlak dan tanggungjawab ia dapat diandalkan, begitu pesan Bu Nyai. Sesuai dengan rencana, nanti ia akan disuruh untuk berjualan kerupuk di kawasan perumahan Rana, dan ia bisa menguji apakah Rahmad layak ia jadikan calon suami atau tidak.

Hari pernikahan keduanya pun hampir berlangsung, sedang di lain pihak, Hasan salah satu Mahasiswa yang dulu Rana bimbing juga telah menyelesaikan studi S.1.nya dengan predikat terbaik. Sungguh kebahagiaan telah menyelimuti hati Rana. Namun takdir berkehendak lain, malam sebelum pernikahannya dilangsungkan, Rahmad mengalami kecelakaan, ia tertabrak kereta api. Kebahagiaan yang membuncah di hati Rana berubah menjadi kesedihan yang tiada tara.

Hampir-hampir ia tidak kuat mengalami cobaan itu. Namun temannya selalu memberi semangat agar ia tetap tegar dan sabar menghadapi cobaan ini. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia percaya bahwa ini adalah salah satu rencana Allah yang disiapkan untuknya agar ia lebih baik. Ia percaya bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan, itulah janji Allah kepada hambanya yang senantiasa beriman dan sabar.

Waktu terus bergulir setelah kejadian itu. Tanpa disangka-sangka, datanglah seorang dokter yang dulu merawatnya ketika ia shock saat calon suaminya mengalami kecelakaan. Perempuan itu tak lain adalah Ibu dari Hasan, mahasiswa yang dulu pernah Ia bimbing. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ihwal kedatangannya ke rumah Rana ialah menyampaikan hajat anaknya, Hasan, yang ingin melamarnya. Bagai disambar petir ia mendengar hal itu. Bukan mimpikah ini? Mungkin begitu pikirnya. Awalnya ia ragu akan hal itu, namun ia sadar, mungkin itulah jalan terbaik yang diberikan Allah kepadanya. Dan akhirnya, tepat malam itu juga kedua mempelai itu melangsungkan akad nikah di masjid dekat rumah Rana dengan disaksikan warga setempat. Allahu Akbar. Bagai ada takbir yang menggema di sela-sela pernikahan keduanya. Itulah sebaik-baik ketetapan yang dicurahkan Allah bagi hamba-Nya yang senantiasa beriman, sabar, dan beramal saleh.

Sebetulnya dari hal di atas banyak sekali tersirat pesan-pesan yang amat berguna, khususnya bagi seorang wanita. Salah satunya ialah, wanita itu harus mempunyai pendirian yang kuat, dan jangan berpendirian lemah layaknya bunga layu yang ada di pekarangan. Karena wanita adalah makhluk yang dimuliakan.

SYAHADAT CINTA

Novel karya Taufiqurrahman Al Azizy ini menceritakan atau bercerita tentang seorang pemuda yang bernama Iqbal Maulana dimana ia berwatak sangat jahat kepada kedua orangtuanya, khususnya kepada ibunya. Hingga suatu pagi ia yang baru saja pulang minum-minuman keras mendorong ibunya hingga beliau terjatuh dan akhirnya masuk rumah sakit.

Semenjak hal itulah, perangainya mulai berubah. Ia sadar bahwa selama ini segala perbuatannya merupakan perbuatan yang salah, dan ia menyatkan ingin bertaubat dan berbuat baik. Ibunya menyarankan agar dirinya mondok disalah satu pondok pesantren di Salatiga Semarang, dimana Kyai pondok itu adalah teman mondok ibunya. Ia menuruti kemauan ibunya, dan akhirnya Iqbalpun berangkat ke sana.

Tegakkan Tauhid, Tumbangkan Syirik, itulah kalimat yang ia jumpai waktu pertama kali masuk pondok itu. Keberadaannya pun kini sudah dua bulan lebih, namun ia tak merasa mendapat ilmu apa-apa karena semenjak pertama kali datang ia hanya ditugasi untuk mengambil air di sungai yang jaraknya lumayan jauh dari pondok guna mengisi kolah-kolah tempat wudhu yang ada di pondok. Namun sebagai santri awm ia hanya bisa manut perintah Kyainya.

Hingga perjalanannya pun menghantarkan dirinya kepada sebuah peristiwa yang tidak pernah dilupakannya. Dimana pada suati senja ketika ia sedang beristirahat di pinggir sungai karena terlalu lelahnya selepas mengambil air yang telah menjadi kewajibannya itu, tiba-tiba ada seorang gadis berjilbab yang amat mengejutkannya. Ia yang pada waktu itu amat lelah meras tersentak dan kaget dan sangat marah, sehingga ia luapkan kemarahannya kepada gadis itu tadi. Si gadis kemudian menangis dan berlari meninggalkannya sendirian. Dia berlari tersedu-sedu dengan tangisannya.

Hingga pada sore itu juga ia baru tahu kalau gadis yang baru saja ia marahi tadi adalah putri pak Kyai-nya. Betapa kaget dan tersontaknya dia mendengar hal itu. Bagaiman tidak? Ia telah berani mencaci maki putri kyai-nya. Rasa takut, menyesal, sedih berbaur dalam hatinya. Akhirnya diam-diam tanpa sepengetahuan pak Kyai, ia melarikan diri dari pondok guna menenangkan diri. Dan jikalau waktunya tepat nanti,ia akan kembali untuk meminta maaf kepada Aisyah, putri pak Kyai.

Novel ini sungguh menggambarkan anak muda yangpenuh dengan tanggungjawab, di mana sulit rasanya mencari orang yang berwatak seperti dia di jaman sekarang ini. Penulis menjabarkannya dengan baik perwatakan tokoh-tokohnya, dimana sesuai dengan keadaan jaman sekarang.